RMOL. Usulan pemerintah akan membentuk lembaga khusus yang
menangani pengumpulan dan pembayaran diyat bagi Tenaga Kerja Indonesia
(TKI) ditanggapi negatif para aktivis. Menurutnya, lembaga tersebut
tidak terlalu dibutuhkan.
Koordinator LSM Peduli Buruh Migrant,
Lily Pujiati menyatakan, alasan lembaga tersebut belum dibutuhkan,
karena masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus dikerjakan
pemerintah yaitu membenahi sistem penempatan TKI.
“Pertama
membenahi sistem pemberangkatan, membenahi Undang-undang TKI yang masih
orientasinya bisnis, kemudian membangun kebijakan bilateral dengan
negara tujuan yang protektif,” kata Lily kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Lily
menyatakan, saat ini banyak Balai Latihan Kerja (BLK) milik swasta atau
Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang tidak
memnuhi standarisasi pelatihan TKI. Sepanjang 2013 saja, dari 545 PPTKIS
yang tersebar di seluruh Indonesia, sebanyak 213 PPTKIS dibekukan
sementara. Sedangkan, 52 lainnya telah dicabut izin operasional karena
melakukan pelanggaran berat.
“Menurut saya, sebaiknya BLK
dikelola langsung oleh pemerintah.Tempat latihan harus pemerintah, bukan
swasta. Sebab, kalau swasta lebih kental bisnisnya daripada
edukasinya,” sarannya.
Pemerintah kata dia, punya banyak BLK yang
selama ini mangkrak. Kalau ini dioptimalkan, maka sangat mampu melatih
TKI sesuai stadarisasi dan kebutuhan negara tujuan bekerja. “BLK di
beberpa daerah selama ini nganggur. Kalau ini dipakai untuk men-training
calon TKI, akan lebih mengedukasi mereka dan ngirit biaya,” tuturnya.
Lily
pun menyarankan agar revisi UU TKI segera dilakukan. Sebab banyak hal
yang bisa diubah dengan revisi tersebut. “Termasuk soal BLK dan
perlindungan para penyumbang devisa tersebut,” imbuhnya.
Ketua
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Nisma Abdullah pun tidak setuju
dengan wacana pembangunan badan penampung sumbangan diyat tersebut.
Sebab
hal itu hanya akan menyuburkan praktek pemanfaatan uang diyat. “Sejak
awal saya kan tidak setuju dengan pencarian sumbangan itu. Bukannya
tidak mau membantu, tapi lebih banyak modharadnya. Apalagi kalau sampai
dibangun,” tuturnya.
Menurut Nisma, yang harus dibangun
pemerintah bukanlah badan penyalur sumbangan diyat. Tetapi menguatkan
bergainning diplomasi dengan negara-negara tempat TKI bekerja.
“Pemerintah harus berfikir, bagaimana caranya agar lain kali kasus
semacam itu tidak diselesaikan melalui pembayaran diyat. Supaya pihak
keluarga di Arab tidak bisa sembarangan menaikkan diyat. Itu lebih
penting menurut saya,” tegasnya.
Nisma pun meminta agar
pemerintah membuat perjanjian antar negara, yang sifatnya mengikat, dan
mutlak. Inti dari penjanjian tersebut haruslah berisi tentang aturan
supaya tidak ada pihak yang dirugikan, seperti saat ini. “Kalau TKI
Indonesia posisinya betul-betul salah, ya harus dihukum sesuai
kejahatannya. Tapi kalau seperti Satinah yang dalam posisi membela diri,
dan tertekan karena apa yang dilakukan sang majikan, tentu harus ikut
dipertimbangkan,” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator
Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto menyatakan, pemerintah
berencana membentuk sebuah badan khusus yang akan mengkoordinasikan
pengumpulan dan pembayaran diyat. Hal ini didasarkan pada ketidakmampuan
negara membayar semua diyat TKI yang melakukan pelanggaran hukum di
luar negeri.
“Kecuali kalau TKI itu diadili, tapi atas dasar
zalim dan tidak bersalah. Itu kita akan berbuat semaksimal mungkin untuk
menyelamatkannya,” kata Djoko di kantornya, (3/4), lalu.
Sedangkan
sisa diyat yang harus dibayar, menurut Djoko, akan dikoordinasikan oleh
badan baru yang mengumpulkan sumbangan dari sejumlah pihak, termasuk
pengusaha. Ia mengklaim, pemerintah tak dapat mengalokasikan Anggaran
Pendapatan Belanja Negara guna membayar diyat semua TKI.
Aktivis Tolak Pembentukan Lembaga Pengelola Diyat Sistem Penempatan TKI Perlu Dibenahi
Tag: Berita Terkait
Tidak ada komentar: