Aksiku

Perjuangan

My Family

Pendidikan

Buruh Migran

Perjalanan

Galery Video

» » Buol Lipu Noto...


I. Keadaan Umum Kabupaten Buol

Secara geografis Kabupaten Buol terletak diantara 0,35°-1,20° LU dan 120,12°- 122,09° Bujur Timur
Dengan luas wilayah: 4.043,57 Km2.

Wilayah buol berbatasan dengan : di wilayah timur dengan Kabupaten Gorontalo, Propinsi Gorontalo, di wilayah barat dengan Kabupaten Toli-toli, di sebelah utara berbatasan dengan Lautan Sulawesi dan Negara Philipina, 
di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Toli-toli dan Kabupaten Parimo.
Wilayah Buol merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah yang beribukota di Kecamatan Biau.

Wilayah Boul terbagi atas 11 Kecamatan. 7 Kelurahan dan 101 Desa. (data 2009)

Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010 oleh BPS, jumlah penduduk Kabupaten Buol mencapai 
132.381 jiwa yang terdiri dari laki-laki 67.892 jiwa dan perempuan 64.489 jiwa, dengan tingkat 
kepadatan penduduk rata-rata 29 jiwa/Km2. Jumlah rumah tangga mencapai 26.929 KK dengan rata-rata 
anggota rumah tangga 4-5 orang.Kabupaten Buol memiliki areal hutan seluas 258.228 Ha, yang terdiri dari:
Hutan lindung 63.602 ha
Hutan produksi biasa tetap 60.413 ha,
Hutan produksi terbatas 100.341 ha,
Hutan yang dapat dikonversi 24.070 ha
Hutan suaka alam dan hutan wisata 9.802 ha.
Kabupaten Buol memiliki wilayah perairan Seluas 40.320 Km2 disepanjang garis pantai dengan panjang 
234.634 Km. Dalam perairan tersebut terkandung jenis ikan tuna, cakalang, tongkol, karapu, napoleon serta berbagai jenis ikan lainnya.

II. Sejarah Masyarakat dan Hak Ulayat Ahli Waris Masyarakat Adat Buol

II. A. Sistim Pewarisan Masyarakat Adat Buol

Sumber berbagai publikasi yang dikompilasi dengan sumber Bapeda Sulteng
Sejarah Buol mulai dikenal sejak jaman pemerintahan NDUBU I dengan Permaisurinya bernama SAKILATO (sekitar 1380 M) dan selanjutnya digantikan oleh Anogu Rlipu sebagai Madika (Raja), kemudian memindahkan Pusat pemerintahan dari Guamonial ke Lamolan. Setelah Anogu Rlipu meninggal dunia ketika Dai Bole belum kembali dari moyausayya (perantauan), padahal dia yang harusnya menggantikan sebagai Madika,maka
Bokidumemutuskan BATARALANGIT menjadi Madikadengan gelar Madika Moputi atau Sultan Eato,dia merupakan Raja Buol yang pertama memeluk Agama Islam dengan nama Muhammad Tahir Wazairuladhim Abdurahman yang kemudian meninggal pada tahun 1003 H atau 1594 M.
Pengganti Madika Moputi adalah putra Dai Bole yaitu Pombang Rlipu yang diberi gelar Prins Yakut Kuntu Amas Raja Besar oleh Portugis.Setelah masa pemerintahan Pombang Rlipu yang terkenal. Kemudian Raja Pombang digantikan oleh Sultan Poondu.
Sultan Poondu banyak melakukan perlawanan terhadap Portugis pada akhirnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati pada tahun 1770. Sultan Poondu di gantikan oleh Dinasti Mokoapat, dengan silsilah sebagai berikut:

1.Sultan Undain
2.Datumimo (1804 – 1810)
3.Mokoapat (1810 – 1818)
4.Ndubu II
5.Takuloe
6.Datumula (1839 – 1843)
7.Elam Siradjudin (1843 – 1857)
8.Modeiyo (wakil 1857 – 1858)
9.Lahadung (1858 – 1864)
Dilanjutkan oleh Dinasti Turubu/Turungku yaitu:

1.Turubu/Turungku (1864–1890)
2.Haji Patra Turungku (1890 – 1899)
3.Datu Alam Turungku (1899 – 1914)
4.Haji Akhmad Turungku (1914 – 1947)
5.Mohammad Aminullah Turungku (1947 – 1997)
6.Mahmud Aminullah Turungku (1997–sekarang)

II. B. Suku Buol dan Wilayah Ulayat

Suku Buol berdiam di Propinsi Sulawesi Tengah bagian utara, berbatasan dengan Sulawesi Utara 
(sekarang propinsi Gorontalo). Daerah ini dikelilingi oleh pegunungan. Wilayah kediaman orang Buol meliputi lima di antara 11 kecamatan di Kabupaten Buol Tolitoli, yakni kecamatan Biau, Momunu, Bokat, Bunobugu, dan Paleleh. Dengan demikian lima wilayah kecamatan tersebut merupakan wilayah ulayat masyarakat suku Buol, yang merupakan satu-satunya suku yang ada di kabupaten Buol Sulawesi Tengah.

II. C. Struktur Kelembagaan Masyarakat Buol.

Struktur Lembaga tersebut adalah: Ta Bwulrigon, Ta Mogutu Bwu Bwulrigon, Ta
Momomayungo Bwu Bwulrigon, Ta Momulrigo Bwu Bwulrigon .
Fungsi dari kelembagaan ini adalah:
1. Ta Bwulrigon artiya orang yang diusung, adalah sesorang yang diangkat menjadi kepala pemerintahan adat     beserta pembantunya berfungsi untuk mengurus urusan-urusan
pemerintahan dan kemasyarakatan.
2. Ta Mogutu Bwu Bwulrigon artinya pembuat usungan, adalah badan yang berfungsi untuk membuat peraturan atau pengambil keputusan sekaligus memilih kepala pemerintahan.
3. Ta Momomayungo Bwu Bwulrigon artinya orang yang memayungi usungan, berfungsi untuk pengayom masyarakat dan penegak hukum adat/pemangku adat yang menerapkan hukum Duiyano Butako.
4. Ta Momulrigo Bwu Bwulrigon artinya pengusung usungan, adalah seseorang yang berfungsi untuk memastikan seluruh masyarakat adat agar taat dan patuh terhadap hukum adat.
Aturan/hukum adat dijalankan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat. Selanjutnya dalam beberapa kebijakan yang akan diambil, dimusyawarah dalam setiap kelompok masyarakat. Bokidu merupakan lembaga untuk mengambil kebijakan dan memutuskan setiap persoalan yang dihadapi.

II. D. Sistim Penguasaan Lahan oleh Masyarakat.

Sistem penguasaan wilayah ulayat atas tanah, dimiliki dan dikelola secara kelompok berdasarkan garis keturunan/marga. Untuktetap menjaga kesuburan tanah, dan untuk mendapatkan hasil produksi pertanian yang baik, sistem ladang berpindah merupakan cara pertanian masyarakat, tetapi setiap lahan yang ditinggalkan akan digunakan kembali dan biasanya akan kembali dibuka untuk perkebunan setelah lahan sudah menjadi doumi/buni
(hutan muda). Untuk megetahui wilayahnya masing-masing biasanya kelompok masyarakat tersebut menandai dengan tanaman tahunan, seperti durian, nangka, rambutan, langsat, kelapa, mangga, kapas, kopi, dll.

Sistem penguasaan lahan dilakukan secara kelompok/komunal dengan kemampuan dan Distribusihasil pertaniannyadidasarkan atas kebutuhan setiap keluarga dalam kelompoknya masing-masing, sehingga untuk keluarga yang anggotanya lebih besar akan berbeda penerimaannya dengan anggota keluarga yang lebih sedikit jumlahnya. Dalam pembukaan hutan untukberladang terdapat juga larangan-larangan yang harus ditaati
oleh setiap kelompok yang membuka lahan untuk bertani, seperti pembukaan hutan tidak boleh dilakukan terlalu dekat dengan kuala, mereka meyakini jika pembukaan lahan terlalu dekat dengan kuala bisa menyebabkan longsor dan banjir. 
Palrima adalah orang yang dituakan dalam menunjukkan hutan yang boleh dibuka dan menetapkan larangan-larangan dalam membuka hutan untuk perladangan. Palrima juga bertugas untuk mengusir roh jahat dan semua jenis binatang yang berbisa. 
Dalamberladang masarakat sudah memiliki kemampuan untuk memprediksi kapanmenetapkan waktu untuk menanam, seperti menunggu datangnya yayukan (bintang woluku), masyarakat meyakini bahwa ketika ada yayukan, maka curah hujan akan datang dan hama tanaman tidak ada. Budaya ini ditetapkan oleh orang yang dituakan dan menjadi panutan masyarakat dengan sebutan Panggoba. Panggoba juga diyakini memiliki kemapuan untuk mengobati dan mengusir hama tanaman. dalam mengusir hama dan mengobati tanaman biasanya Panggoba melakukan ritual, membakar kanaman (kemenyan), lalu menancapkan Uvbut tumbang (kuncup daun sagu) dan Uvbut pawyuan (pucuk batang bambu kecil) di setiap sudut lahan yang terkena hama. selama 3 hari ladang tidak boleh di didatangi oleh siapapun termasuk oleh pemiliknya sekalipun.

Masyarakat suku Buol mengenal berbagai kearifan adat yang merupakan kebiasaan dan berhubungan dengan perlindungan sumber daya alam, baik berupa tanah, air, maupun hutan. Mayarakat adat juga percaya bahwa alam gaib/religi berperan dalam memberikan kesuburan tanah dan kesejateraan bagi masyarakat sehingga mereka terbiasa melindunginya dengan melakukan upacara persembahan dan sajian kepada leluhur mereka.

III. Sejarah Tanah Ulayat Di Hulu Unone Hulu Umbadudu dan Hulu Biau

Tanah ulayat yang berada di wilayah Hulu Unone, Hulu Biau, dan wilayah Hulu Umbadudu,
memiliki Sejarah penguasaan yang berbeda-beda.

A. Sejarah Penguasaan Tanah di Wilayah Hulu Unone

Pada zaman penjajahan belanda sekitar tahun 1900 Moyanggato orang pertama yang memimpin kelompok membuka lahan di kogongoan (hutan) di sekitar daratan kuala lantikadigo. Kemudiandiikuti oleh kelompok-kelompok/komunal yang dipimpin oleh Marjun Kuntuamas, Daeboleh Husain, Dosu Manggula, Hadari Mandula, Panggig/Kakai Ako, Talude aezia, Pana’a, Pabunggara, Kulor Kanoli, Daura, Banji/Kakai Dumo, Giteng, Ram Kanoli, Day Mataso Iman, Bombo Salakea, Rutaban.

Pembukaan lahan tersebut dilatar belakangi oleh potensi kesuburan tanah,pada setiap wilayah penguasaan oleh kelompok diberi nama seperti Tonona, Bulili, Buyanon Tumbang,Tinomuyang, bokat, Tuliabu, Malrebung, Giteng, Buyano panggig/Kakai Ako, Pinit, Bukilata, Polapi dan Unggag Meelam, Tabone, Dugian, Popaya, Lombituk.

Seiring dengan bertambahnya jumlah komunal yang bermukim, maka pada tahun 1911 terbentuk sebuah perkampungan dan pemerintahan dengan nama kampung Kedudugon, yang menjadi kepala kampung pada saat itu adalah menantu dari Moyanggato yakni Dauwara Balaban alias Tiam Dondi.

Pada tahun 1916 perkampungan bergeser sedikit kearah Utara,dan nama kampung berubah menjadi Bokat Kupo dengan kepala kampung waktu itu adalah Ram Kanoli. Selanjutnya Pada tahun 1930an perkampungan kembali berpindah kearah utara lagi dengan nama kampung berubah menjadi Kantanan 2 , yang menjadi kepala kampung masih Ramkanoli. Kemudian pada tahun 1941 nama kantanan 2 diganti menjadi Desa Unone dengan kepala
desa pertama pada waktu itu Tango Kanoli. Bekas kampung Kodudugon dan Bokat Kupo tetap dijadikan lahanberladangdan lahan sawah kering (padi ladang) tetapi mayoritas menjadi kebun rumpun sagu sebagai makanan pokok masyarakat ketika itu, dan wilayah tersebut diberi nama Hulu Unone .

Didokumentasikan dari wawancara dan FGD Masyarakat Buol

B. Sejarah Tanah Di Wilayah Hulu Umbadudu

Hulu Umbadudu awalnya lokasi tempat masyarakat Boul membuat perahu dan mengambil Rotan.
Pada tahun 1930, Hulu Umbadudu di kelola menjadi lahan pertanian secara berkelompok berdasarkan garis keturunan yang dipimpin oleh Lasuma alias Kai Gili , Salim alias Kai Hau , Mahadali alias Buya , Lasiripi alias Tiambaci , Dai Pumbung alias Pedu, Panjara Todael alias Tiam Siaman dan To’u alias Ti Boydai . Kelompok-kelompok masyarakat tarsebut berasal darikampung Taluan, Lamadong, Tongon, Potugu dan Puji Mulyo.

Setiap wilayah yang dikuasai diberi nama serta memiliki arti sendiri-sendiri seperti wilayah Maniala didi yang artinya (kuala kecil) , Bundoyogit yang artinya Kuala atau sungai nyamuk, sebab lahan yang dibuka dekat dengan sungai yang banyak terdapat nyamuk hutan, ada juga lahan yang diberi nama Bokat Botu yang memiliki arti batu besar di tengah kuala (sungai), sebab lahan tersebut dekat dengan sungai yang terdapat batu besar ditengahnya. Lahan dengan nama Kamayangan yang artinya hamparan luas, ada juga lahan yang diberi nama Potanga yang artinya kuala (sungai) kecil bercabang, sebab lahan tersebut dekat dengan kuala bercabang, lahan dengan nama Doyangon yang artinya banyak sarang kelelawar, karena arealnya banyak sarang kelelawar, nama wilayah tambe diberikan karena wilayah tersebut ditemukan banyak terdapat kayu yang bernama tembe , ada areal yang diberi nama Butak Popaya yang artinya kuala (sungai) pepaya, areal dengan nama Butak Kuehasan diberikan karena nama orang tersebut diyakini sebagai orang pertama kali yang mandi disuangai dekat wilayah yang dibuka, nama Dopiyan diberikan untuk areal wilayah dekat dengan kuala yang terdapat banyak buaya berkembang biayak,Nama Angob diberikan terhadap wilayah yang dibuka dekat dengan goa dalam sungai untuk sembunnyi buaya, Bonduyobuta artinya air terjun tidak berbatu.Setelah menguasai lahan kelompok-kelompok tersebut, memutuskan untuk bermukim di wilayah Hulu Umbadudu untuk mengelolah lahan karena memberikan penghidupan yang lebih baik. Maka semakin banyakkelompok masyrakat yang mengikutinya.Pada tahun 1971, terdapat kebijakan pemerintah yang melakukan penataanperkampungan.
Masyarakat yang bermukim di Hulu Umbadudu diminta untuk kembali ketempat desa asalnya, tetapi masyarakatmenolak untuk pindah. Pada tahun 1973 masyarakat di paksa meninggalkan pemukimannya dengan cara membakar rumah oleh aparat pemerintahyang kemudian berhasil mengembalikan masyarakat ketempat desa asalnya. Kemudian mereka menempati desa sebelumnya di Desa Momunu, Desa Taluan,
Desa Pinamula, Desa Pujimulio, Desa Potugu, Desa Tongon, Desa Lamadong I dan Desa Lamadong II. Tetapi masyarakat tetap berladang di wilayah Hulu Umbadudu walaupun harus setiap hari pulang pergi dari Desake Hulu Umbadudu untuk berladang.

Pada tahun 1982, masyarakat kembali membangun pondok-pondok di wilayah hulu umbadudu dan bermukim, yang dipimpin langsung oleh Bpk. Aminullah A. Taumbung (Kades Lamadong II), dan Bpk. Kamarudin Umar ( Kades Taluan ) dan menetap dan berkebun sampai tahun 1993.

C. Sejarah Tanah di Wilayah Hulu Biau

Sejarah tanah wilayah Hulu Biau merupakan lahan perkebunan masarakat didesa biau pemayagon, bengkudu, kodolagon, guamonial, wakat, diat dan buol. pada tahun 1943 jepang masuk diwilayah gorontalo, saat itu buol termasuk salah satu wilayah administrasinya. Politik kolinial jepang mempengaruhi sistem pertanian di wilayah Hulu biau, sebab jepang memaksa hasil pertanian diserahkan ke kolonial. Sehingga untuk tetap mempertahankan kehidupanya masarakat tersebut lebih intesif mengelola tannha pertanian diwilayah hulu biau.

Pada masa penjajahan jepang Intensitas pertanian di lokasi tersebut ditunjukan dengan menanam tanaman padi, jagung, kapas, dsb. Sebagai bentuk perlawanan gterhadap penjajah Hasil dari pertanian diwilayah tersebut tidak diserahakan ke penjajah.Selain itu, masarakat adat diwilayah tersebut menyusun strategi melawan penjajahan Jepang.

Sehingga untuk menunjukan bahwa lokasi tersebut telah di kuasai oleh masyarakat adat maka di buatlah nama – nama, seperti Tonona yang berarti kayu linggua, Tiampariu, Timo Muyang yang berarti bambu, Mbutong suangai yang airnya bau, Kuala Binde , Marisa, Tombidi, Durin. Sedangkan kelompok-kelompok yang menguasi dan mengolah lahan di Hulu Biau ketika itu adalah, Mukoapat, Mo’u Tahuni, Hamit, Kuliling Mukoopat, Sulaeman To’uruju, Timumun, Lijana Ontoh, Kai Husa ,Halid alias Tikai If, Dotu Tinggi alias kai dotu, Ibrahim alias Kai Puo, Yusup alias Boonda Mou, Mentemas alias Kai Lau, Toumili alias Boyuleu Yang pada gilirannya kemudian kelompok-kelompok masyarakat tersebut semakin bertambah seiring perkemba
ngan populasi anggota keluarga dalam kelompok masyarakat.

IV. Skema Penghancuran Hak Ulayat Masyarakat Buol

Pada perkembangannya, masyarakat adat di berbagai tempat termasuk masyarakat suku bangsa Buol mengalami kondisi yang tersisikan dalam pembangunan, sering kali dengan alasan “demi kepentingan umum” hak-hak mereka dikorbankan untuk mencapai tujuan pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah. Sejak pemerintahan orde Baru berbagai undang-undang dan peraturan di buat sebagai upaya membatasi keberadaan masyarakat adat terhadap wilayahnya. Setidaknya dilahirkannya UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah, secara khusus di propinsi Sulawesi Tengah terdapat Surat Edaran Gubernur pada tahun 1992 yang menyatakan Pencabutan Status Tanah Kepemilikan Komunal.
Hal ini kemudian menghancurkan pengakuan dan hak atas wilayah terhadap masyarakat Buol yang pada perkembangan saat ini melahirkan konflik antara perusahaan PT. Hardaya Inti Plantations dengan Masyarakat Buol, karena terampas tanahnya untuk lahan pekebunan kelapa sawit.

# Rudi Labha #

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

3 komentar:

  1. sejarh buol sangat banyak versinya, terimakasih telah memperkaya pengetahuan budaya suku buol

    BalasHapus
  2. sull kureen > Benar barangkali apa yang anda sampaikan ... dan sejarah di atas saya ambil dari tulisan Sdr Rudi Labha... sebagai dasar bagiku melengkapi pengetahuanku tentang tanah kelahiran kedua orang tuaku juga tanah kelahiranku... kecintaanku pada tanah leluhurku tak komplit rasanya jika tidak di barengi dengan pemahaman silsilah daerah tercinta... kepada anda saya berharap ada versi lain yang bisa saya dapatkan sebagai penambahannya... mterima kasih sudah berkunjung ke blog saya....

    BalasHapus
  3. Anonim11.10

    perlu di gali lebih jauh..asal usul adat.keturunana dsb..all lumayan..untuk bahan referensi..thanks..

    BalasHapus

Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Bila menemukan komentar bermuatan menghina atau spam, berikan jempol bawah, tanda Anda tak menyukai muatan komentar itu. Komentar yang baik, berikan jempol atas.

Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.