Aksiku

Perjuangan

My Family

Pendidikan

Buruh Migran

Perjalanan

Galery Video

» » Lembaga Pengelola Uang Diyat, Banyak Mudaratnya?

Xlarge_lembaga-pengelola-diyat NEFOSNEWS, Jakarta – Besarnya uang diyat Satinah yang capai Rp 21 miliar, membuat Djoko Suyanto, Menko Polhukam, mengusulkan dibentuk lembaga khusus pengumpul dan pengelola uang diyat. Benarkah diperlukan?
Uang diyat, uang darah, atau uang tebusan pengganti vonis mati yang dikenal di Arab Saudi, menjadi topik hangat belakangan ini semenjak kasus Satinah mengemuka.  Satinah adalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Ungaran yang terancam hukuman pancung karena membunuh majikannya. Dalam hal ini, pemerintah harus membayar Rp 21 miliar kepada keluarga korban agar Satinah bebas.
Uang diyat untuk Satinah telah disepakati akan dilunasi pemerintah Indonesia sebanyak 7 juta riyal atau Rp 21 miliar. Menurut Gatot Abdullah Mansyur, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), dari total uang diyat tersebut, 3 juta riyal berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sedangkan sisanya berasal dari donatur di Indonesia, Arab Saudi dan Asosiasi Pengerah Tenaga Kerja.
Kasus Satinah mengetuk hati para donator di Indonesia untuk menyumbang. Banyak yang meminta sumbangan mengatasnamakan Satinah. Kondisi ini dinilai oleh Andi Zainal Dulung, Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial, Kementerian Sosial, sangat rawan. Dia menyarankan agar sumbangan masyarakat untuk diyat Satinah dikumpulkan ke satu pintu, yaitu pihak yang bisa mempertanggungjawabkan dari kemungkinan penyalahgunaan.
“Kemensos terbuka. Tapi kalau Kemenlu sudah mengkoordinasikan, bisa pula dikumpulkan ke sana. Kalau kelompok masyarakat langsung menyerahkan ke keluarga Satinah, dikhawatirkan tak sesuai harapan,” urai Andi Zainal.
Sebagai contoh, dalam kasus Darsem, TKI yang juga terancam hukuman pancung, sumbangan yang mengalir tak sesuai harapan masyarakat. Kala itu Darsem terjerat kasus pembunuhan pada tahun 2007. Keluarga korban memaafkan Darsem setelah pemerintah membayar uang diyat sebesar Rp 4,7 miliar. Sumbangan untuk Darsem dari masyarakat Indonesia mengalir deras. Sehingga setelah pulang ke tanah air, Darsem justru menjadi kaya mendadak karena masih ada sisa sumbangan senilai Rp 1,2 miliar yang diserahkan langsung kepada Darsem.
Tentu saja, banyak yang berharap, kasus Darsem jangan sampai terulang, mengingat masih banyak TKI yang terancam hukuman mati dan perlu membayar uang diyat. 
Merujuk pada kasus para TKI yang terancam hukuman mati inilah, Djoko Suyanto, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan menyatakan, pemerintah berencana membentuk sebuah lembaga khusus yang akan mengkoordinasi pengumpulan dan pembayaran diyat.
Hal ini juga didasarkan kepada ketidakmampuan negara untuk membayar semua diyat para TKI yang terancam hukuman mati. Setidaknya di Arab Saudi masih ada 39 orang lagi yang terancam hukuman mati.
“Kecuali kalau TKI itu diadili, tapi atas dasar zalim dan tidak bersalah. Itu kita akan berbuat semaksimal mungkin untuk menyelamatkannya,” ujar Djoko Suyanto, pada Kamis (3/4/2014).
Menggerus APBN
Benarkah lembaga diyat diperlukan? Pernyataan Djoko Suyanto ditanggapi serius oleh para aktivis atau LSM. Mereka tak setuju pemerintah membentuk lembaga khusus untuk mengelola diyat.
Salah satunya, disampaikan Nisma Abdullah, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI). Menurutnya, sumbangan diyat akan menyuburkan praktek pemanfaatan uang diyat. “Sejak awal, saya kan tidak setuju dengan pencarian sumbangan itu (diyat). Bukannya tidak mau membantu, tapi lebih banyak mudaratnya. Apalagi kalau sampai dibangun (lembaga khusus diyat),” kata Nisma Abdullah.
Dikatakan, yang harus dibangun pemerintah bukan lembaga khusus diyat, melainkan menguatkan diplomasi ke negara-negara tempat TKI bekerja agar jangan sampai kasus Satinah terjadi lagi. Jangan sampai ada diyat untuk menyelesaikan masalah-masalah seperti ini.
“Pemerintah harus berfikir, bagaimana caranya agar kasus lain semacam itu (Satinah) tidak diselesaikan dengan pembayaran diyat . Supaya pihak keluarga korban di Arab juga tidak sembarangan menaikkan diyat. Itu lebih penting menurut saya,” tandas Nisma.
Nisma menilai, sebaiknya pemerintah membuat perjanjian antar negara yang sifatnya mengikat dan mutlak. Inti perjanjian agar tidak ada yang dirugikan. “Kalau TKI Indonesia, posisinya betul-betul salah, ya harus dihukum sesuai kejahatannya. Tapi kalau seperti Satinah yang dalam posisi membela diri dan tertekan karena apa yang dilakukan majikannya, tentu harus dipertimbangkan,” imbuhnya.
Pandangan serupa juga dilontarkan oleh Lily Pujiati, Koordinator LSM Peduli Buruh Migran. Dikatakan, lembaga khusus diyat belum diperlukan di Indonesia karena masih banyak yang harus dilakukan oleh Indonesia. “Pertama, membenahi sistem pemberangkatan, membenahi Undang-Undang TKI yang masih orientasi bisnis. Kemudian membangun kebijakan bilateral dengan negara tujuan yang protektif,” urai Lily seperti dikutip Rakyat Merdeka.
Dia juga membeberkan, bahwa saat ini banyak Balai Latihan Kerja (BLK) milik swasta atau Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang tidak memenuhi standarisasi pelatihan TKI.
“Menurut saya, sebaiknya BLK dikelola langsung oleh pemerintah. Tempat latihan harus pemerintah, bukan swasta. Sebab, jika swasta lebih kental bisnisnya daripada edukasinya,” tandas Lily Pujiati.
Terkait kasus Satinah, Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) justu menilai, pemerintah tak seharusnya membayar diyat untuk Satinah. Menurutnya, harus ada cara lain untuk menyelamatkan Satinah.
"Di mana letak keadilan, bagi kita rakyat Indonesia yang berada di sini (Indonesia)? Kalau misalnya uang pajak itu digunakan untuk pembayaran diyat yang seharusnya dilakukan secara kontraktual," tandas Hikmahanto.
“Perlu diingat, TKI yang terancam hukuman mati saat ini lebih dari 30 orang. Bila dari jumlah ini keluarga korban meminta nilai diyat yang fantastis, apakah ini tidak akan menggerus APBN?” tanyanya.
Pemerintah Indonesia berkewajiban menyelamatkan para TKI lain yang kini terancam hukuman mati. Artinya, masih ada peluang munculnya tuntutan diyat yang lainnya. Banyak hal yang harus dikerjakan pemerintah. Termasuk memperkuat jalur diplomasi dengan berbagai negara tujuan TKI, yang dianggap sangat penting dan mendesak. (yt astuti/kukuh bhimo nugroho)


8 April 2014 | 07:00

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply

Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Bila menemukan komentar bermuatan menghina atau spam, berikan jempol bawah, tanda Anda tak menyukai muatan komentar itu. Komentar yang baik, berikan jempol atas.

Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.