Nisma Abdullah, Warakawuri yang Memperjuangkan Nasib TKI
Ruhut Ambarita | Kamis, 09 Januari 2014 - 14:40 WIB
: 143
(SH/Muniroh)
Nisma Abdullah.
Waktu yang seharusnya dihabiskan bersama keluarga, digunakan untuk memperjuangkan nasib buruh migran
Usianya pada Januari ini tepat setengah
abad. Bagi kebanyakan perempuan yang sudah berkeluarga di Indonesia,
usia sebaya itu umumnya banyak dihabiskan bersama anak dan cucu.
Namun, tidak bagi Nisma Abdullah. Ia justru "menyerahkan"
hidupnya untuk orang-orang yang mengalami nasib sama dengannya yang
terjadi puluhan tahun silam.
Hari itu, ia memiliki agenda penting di
Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Ia bukan hakim, jaksa, ataupun
pengacara.
Nisma dan beberapa rekannya hendak mendampingi puluhan
pemuda yang mengajukan gugatan terhadap sebuah perusahaan yang
perkaranya sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
"Ini kasus trafficking
(perdagangan manusia). Namun, hari ini sidangnya ditunda. Kasus ini
sudah berjalan satu tahun," kata Nisma ketika ditemui SH, Selasa
(7/1). Sekitar satu tahun yang lalu, 156 pemuda menjadi korban
perdagangan manusia dari sebuah perusahaan tambang.
Mereka dipekerjakan sebagai anak buah
kapal (ABK), tetapi ditelantarkan perusahaan dan terdampar di
Trinidad dan Tobago, sebuah pulau di kawasan Karibia. "Mereka
telantar di atas kapal berbulan-bulan tanpa makanan. Mereka kemudian
turun ke daratan dan ditangkap aparat setempat," katanya. Namun,
hanya 56 ABK menggugat pemilik perusahaan itu.
Setiap hari, Nisma selalu berhadapan
dengan persoalan-persoalan serupa yang dialami buruh. Wajar saja,
karena Nisma kini menjabat sebagai Ketua Umum Serikat Buruh Migran
Indonesia (SBMI), sebuah organisasi yang anggotanya buruh migran,
atau kita sering mendengarnya dengan istilah tenaga kerja Indonesia
(TKI).
Keterlibatan Nisma dalam organisasi
buruh migran berawal di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Setelah
mengakhiri kerja sebagai penata rambut di Kuwait pada 2003, Nisma
mengumpulkan rekan-rekannya sesama buruh migran yang pernah bekerja
di Arab Saudi dan Kuwait. Mereka membentuk kelompok yang dinamakan
Forum Komunikasi Buruh Migran Sepakat.
"Saya membentuk kelompok itu
awalnya untuk reunian saja. Tidak ada fokus atau rencana kelompok ini
nantinya bakal menerima kasus atau melakukan advokasi. Kami hanya
berkumpul sebulan sekali untuk sekadar memasak masakan Arab atau
mengobrol pakai bahasa Arab," kata Nisma.
Namun, setelah terbentuk, ia dan
rekan-rekannya justru menerima banyak permintaan bantuan dari
keluarga buruh migran. Banyak keluarga buruh migran ingin mencari
keberadaan anggota keluarganya yang sudah lama bekerja di luar
negeri, tetapi tidak pernah ada kabar.
Istri Prajurit
Kisah Nisma menjadi seorang buruh
migran bermula pada 1993. Saat itu, Nisma sudah berkeluarga dengan
memiliki empat anak. Ia merupakan istri seorang prajurit marinir TNI
Angkatan Laut berpangkat kopral. Suaminya pernah mengikuti Operasi
Seroja di Timor-Timur sekitar 1970.
Gaji suaminya saat itu hanya sekitar Rp
125.000 per bulan. Meski sudah ditambah pendapatannya dari usaha
salon dan berjualan kue, ternyata masih belum cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya saat itu.
"Apalagi, saya punya keinginan
anak-anak nantinya bisa kuliah. Saya ingin, paling tidak ada,
anak-anak saya bisa seperti anak-anak lainnya. Alasan itu yang
memutuskan saya bekerja ke luar negeri. Saya kemudian pamit ke bapak
(suami) untuk berangkat ke luar negeri," Nisma mengisahkan
alasannya menjadi buruh migran.
Namun, tekadnya bekerja ke luar negeri
tak mudah direalisasikan. Posisinya sebagai istri seorang prajurit
aktif membuatnya dan suami harus mendapatkan restu dari Panglima
ABRI. Meskipun begitu, izin pun belum tentu bisa diperoleh seandainya
diajukan.
"Akhirnya, saya (nekat) memutuskan
tidak minta izin panglima. Langsung berangkat saja. Namun, saya
berangkat atas izin suami," ujar Nisma seraya tersenyum.
Sebetulnya, Nisma sangat berat meninggalkan suami dan keempat anaknya
di Tanah Air. Apalagi, anak terakhirnya ketika itu masih berusia tiga
tahun. "Masih nete (menyusui)," ujarnya.
Namun, kebutuhan hidup yang harus
dipenuhi saat itu "memaksa" Nisma mengadu nasib di luar
negeri. Ia berharap mendapatkan rezeki yang lebih banyak ketimbang
yang didapat di Indonesia dari keahliannya sebagai penata rambut.
Negara pertama tempatnya bekerja adalah Madinah, Arab Saudi.
Tiga tahun lamanya Nisma bekerja di
Madinah. Namun, agensi pekerja di sana justru menyalurkannya sebagai
pekerja rumah tangga, bukan sebagai penata rambut. "Majikan saya
di sana itu Ketua (organisasi) Sepak Bola Madinah," ujarnya.
Tidak Manusiawi
Nisma mendapatkan perlakuan yang tidak
manusiawi selama bekerja di Madinah. Perlakuan buruk juga ia dapat
ketika bekerja selanjutnya di Kuwait. Majikan kerap memperlakukannya
dan buruh migran yang lain dengan kasar.
"Hampir semua kawan-kawan pernah
dilecehkan ketika bekerja di luar negeri," ujar Nisma. Tidak
jarang, ia melanjutkan, pelecehan itu berujung pada pemerkosaan
terhadap perempuan. Ia hampir menjadi salah satu korban pemerkosaan
ketika bekerja di Kuwait.
Berdasarkan data dan laporan, kata
Nisma, buruh migran Indonesia mendapatkan perlakuan sangat buruk
ketika bekerja di negara-negara kawasan Timur Tengah dan Malaysia.
Selain pelecehan dan kekerasan, ia melanjutkan, buruh migran
Indonesia yang bekerja di kedua tempat itu sering kali menerima upah
rendah, bahkan tidak dibayar sepeser pun.
Perlakuan buruk yang dialami buruh
migran Indonesia terjadi akibat ketidaksiapan calon tenaga kerja
untuk bekerja maupun beradaptasi. Banyak dari mereka yang tidak
menguasai bahasa setempat.
Ketidaksiapan calon tenaga kerja
Indonesia ini akibat tidak adanya tanggung jawab pemerintah dalam
menyiapkan tenaga kerja yang profesional untuk bekerja di luar
negeri. Selama ini, pemerintah hanya mau mengirim sebanyak-banyaknya
tenaga kerja ke luar negeri tanpa memperhatikan kesiapannya.
Hal itu tercermin dari begitu gencarnya
pemerintah menjaring warga untuk bekerja ke luar negeri, meskipun
negara yang dituju tidak memiliki perjanjian kerja sama dengan
Indonesia, contohnya Arab Saudi. Indonesia tidak memiliki perjanjian
dengan Arab Saudi, tetapi pengiriman terbesar TKI ke negara itu.
"Padahal, dalam UU No 39/2004,
pemerintah tidak boleh menempatkan buruh migran di negara yang tidak
punya perjanjian dengan Indonesia. Bila dipaksakan, akhirnya tidak
ada jaminan perlindungan terhadap buruh migran yang diberikan
negara-negara tujuan penempatan," tuturnya.
Oleh karena itu, buruh migran harus
bersatu memperjuangkan hak-haknya sehingga dijamin kelangsungan
hidupnya saat bekerja di luar negeri. "Saya tidak rela apa yang
terjadi pada saya di luar negeri juga akan dialami kawan-kawan
lainnya," ujarnya.
Untuk itu pula, ia terus berjuang
hingga kini. Baginya, jauh dari anak dan cucunya adalah sebuah risiko
dari pilihannya. "Saya ingin mati dalam perjuangan,"
katanya.
Sumber : Sinar Harapan
Tidak ada komentar: