Membuka Salon untuk Advokasi Buruh
Ruhut Ambarita | Kamis, 09 Januari 2014 - 17:38 WIB
: 64

(SH/Muniroh)
Nisma Abdullah
Uang yang didapatnya dari usaha sebagian digunakan untuk membiayai kegiatan organisasi.
JAKARTA - Hingga kini perlakuan buruk
yang dialami ketika bekerja menjadi buruh migran di Madinah dan
Kuwait masih terus menghantuinya setiap hari. Mulai dari pemukulan
hingga hampir menjadi korban pemerkosaan pernah dia alami.
"Kalau lagi di jalan ketemu orang-orang berjanggut, tiba-tiba saya bisa takut. Saya takut kalau ketemu orang berjanggut," kata Nisma Abdullah, menceritakan trauma yang terus membayanginya hingga kini.
Nisma pernah bekerja sebagai buruh migran di Arab Saudi mulai 1993-1996. Satu tahun menganggur, Nisma kemudian terbang ke Kuwait. Di sana ia bekerja sebagai pekerja rumah tangga dan penata rambut hingga tahun 2004.
Di balik kisah dukanya, Nisma juga memiliki kisah suka saat bekerja sebagai buruh migran. "Selama bekerja di luar negeri, saya sudah tiga kali naik haji," katanya, sambil tersenyum. Ia bersyukur dapat memenuhi kewajibannya sebagai seorang muslim.
Ketika pertama kali bekerja di negara orang, Nisma meninggalkan suami dan empat anaknya di Tanah Air. Anak terakhirnya saat itu masih berusia tiga tahun. Kini, bayi yang dia tinggal untuk mengadu nasib di negeri orang itu sudah tumbuh menjadi perempuan dewasa.
"Saat ini dia bekerja sebagai sekretaris perusahaan Jepang di Jakarta," kata Nisma, membanggakan putrinya yang bernama Vinkan Ria Merlita Nuraini itu. Ketiga anaknya yang lain dari buah perkawinannya dengan Lexie Hengkie Pandeiroot kini sudah berkeluarga.
Mereka adalah Vemmy Maidita Nur Aisyiah yang tinggal bersama suaminya di Sulawesi dan berprofesi sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah, Palu. Anak keduanya, Ficky Lemanda kini tinggal bersamanya di Kompleks Seroja, Bekasi.
Anak ketiganya, Ferry Mascup Lemaianda kini tinggal di Balikpapan. "Saya belum pernah melihat cucu saya di Kalimantan sejak dia lahir satu tahun lalu. Itu karena kesibukan saya mengurus kawan-kawan buruh migran," ujarnya.
Sebagai ketua umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Nisma memang memiliki jadwal yang sangat padat. Selain harus mengatur anggotanya, Nisma harus mendampingi kasus-kasus buruh migran.
Nisma kini memimpin 27.000 anggota SBMI yang tersebar di 13 provinsi dan 120 kabupaten/kota di Indonesia. "Belum lagi anggota SBMI yang ada di Hong Kong, Jeddah, Kuwait, dan Qatar," ujarnya.
Namun, kesibukan Nisma sebagai ketua organisasi buruh migran membuat anak-anaknya tidak suka. Anak-anaknya ingin Nisma berhenti menjalankan aktivitasnya sebagai aktivis buruh dan menghabiskan waktu bersama keluarga.
"Mereka bilang saya ini sudah tua. Sudah waktunya main sama cucu. Mereka berharap saya ada di samping cucu-cucu. Saya akui memang belum tentu saya satu tahun sekali ketemu cucu. Bagi saya, saya ini bukan lagi milik keluarga, tetapi saya milik rakyat," katanya.
Selain memimpin organisasi buruh migran, Nisma kini juga mengelola usaha salon yang diberi nama "Buruh", dan tempat cuci mobil yang ditinggalkan suaminya yang meninggal dunia pada 2010.
"Lumayan ada penghasilan tambahan, Rp 100.000 (per hari) bisa dapat kalau lagi ramai," ujarnya. Namun, kata Nisma, uang yang didapatnya dari usaha sebagian digunakan untuk membiayai kegiatan organisasi.
Nisma menyadari keluarga juga membutuhkannya. Namun, ia sering kali memberikan pemahaman ke anak-anaknya bahwa ia memiliki tekad dan janji untuk membantu buruh migran yang sedang dirundung persoalan.
"Hati saya hanya ingin rakyat mendapatkan keadilan, khususnya buruh migran. Saya tidak rela apa yang terjadi pada saya di luar negeri juga akan dialami kawan-kawan lainnya," kata Nisma.
"Kalau lagi di jalan ketemu orang-orang berjanggut, tiba-tiba saya bisa takut. Saya takut kalau ketemu orang berjanggut," kata Nisma Abdullah, menceritakan trauma yang terus membayanginya hingga kini.
Nisma pernah bekerja sebagai buruh migran di Arab Saudi mulai 1993-1996. Satu tahun menganggur, Nisma kemudian terbang ke Kuwait. Di sana ia bekerja sebagai pekerja rumah tangga dan penata rambut hingga tahun 2004.
Di balik kisah dukanya, Nisma juga memiliki kisah suka saat bekerja sebagai buruh migran. "Selama bekerja di luar negeri, saya sudah tiga kali naik haji," katanya, sambil tersenyum. Ia bersyukur dapat memenuhi kewajibannya sebagai seorang muslim.
Ketika pertama kali bekerja di negara orang, Nisma meninggalkan suami dan empat anaknya di Tanah Air. Anak terakhirnya saat itu masih berusia tiga tahun. Kini, bayi yang dia tinggal untuk mengadu nasib di negeri orang itu sudah tumbuh menjadi perempuan dewasa.
"Saat ini dia bekerja sebagai sekretaris perusahaan Jepang di Jakarta," kata Nisma, membanggakan putrinya yang bernama Vinkan Ria Merlita Nuraini itu. Ketiga anaknya yang lain dari buah perkawinannya dengan Lexie Hengkie Pandeiroot kini sudah berkeluarga.
Mereka adalah Vemmy Maidita Nur Aisyiah yang tinggal bersama suaminya di Sulawesi dan berprofesi sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah, Palu. Anak keduanya, Ficky Lemanda kini tinggal bersamanya di Kompleks Seroja, Bekasi.
Anak ketiganya, Ferry Mascup Lemaianda kini tinggal di Balikpapan. "Saya belum pernah melihat cucu saya di Kalimantan sejak dia lahir satu tahun lalu. Itu karena kesibukan saya mengurus kawan-kawan buruh migran," ujarnya.
Sebagai ketua umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Nisma memang memiliki jadwal yang sangat padat. Selain harus mengatur anggotanya, Nisma harus mendampingi kasus-kasus buruh migran.
Nisma kini memimpin 27.000 anggota SBMI yang tersebar di 13 provinsi dan 120 kabupaten/kota di Indonesia. "Belum lagi anggota SBMI yang ada di Hong Kong, Jeddah, Kuwait, dan Qatar," ujarnya.
Namun, kesibukan Nisma sebagai ketua organisasi buruh migran membuat anak-anaknya tidak suka. Anak-anaknya ingin Nisma berhenti menjalankan aktivitasnya sebagai aktivis buruh dan menghabiskan waktu bersama keluarga.
"Mereka bilang saya ini sudah tua. Sudah waktunya main sama cucu. Mereka berharap saya ada di samping cucu-cucu. Saya akui memang belum tentu saya satu tahun sekali ketemu cucu. Bagi saya, saya ini bukan lagi milik keluarga, tetapi saya milik rakyat," katanya.
Selain memimpin organisasi buruh migran, Nisma kini juga mengelola usaha salon yang diberi nama "Buruh", dan tempat cuci mobil yang ditinggalkan suaminya yang meninggal dunia pada 2010.
"Lumayan ada penghasilan tambahan, Rp 100.000 (per hari) bisa dapat kalau lagi ramai," ujarnya. Namun, kata Nisma, uang yang didapatnya dari usaha sebagian digunakan untuk membiayai kegiatan organisasi.
Nisma menyadari keluarga juga membutuhkannya. Namun, ia sering kali memberikan pemahaman ke anak-anaknya bahwa ia memiliki tekad dan janji untuk membantu buruh migran yang sedang dirundung persoalan.
"Hati saya hanya ingin rakyat mendapatkan keadilan, khususnya buruh migran. Saya tidak rela apa yang terjadi pada saya di luar negeri juga akan dialami kawan-kawan lainnya," kata Nisma.
Sumber : Sinar Harapan
Tidak ada komentar: