
“Kita harus menemukan proyeksi atas potret buruh migran 2012 dan bahkan lima tahun ke depan untuk kita advokasikan pada pemerintah. Tidak hanya berupa catatan tapi juga sebuah kesadaran,” ujar Adi.
Hadir sebagai pembicara Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Nisma Abdullah, Divisi Advokasi dan Kampanye Massa Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) Marifah Ahmad, dan Direktur Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi. Sementara Menakertrans Muhaimin Iskandar dan Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat berhalangan hadir.
Sri Palupi mengatakan, selama ini peran pemerintah dalam perlindungan terhadap buruh migran Indonesia sangat lemah. Bahkan menurutnya, carut marut perekrutan, pengiriman hingga penempatan buruh migran Indonesia di luar negeri sering memposisikan buruh migran menjadi pihak yang terjebak berbagai persoalan.
“Pengiriman buruh migran Indonesia ke luar negeri layaknya human trafficking karena banyak peraturan yang dilanggar dan tidak adanya perlindungan. Ini perbudakan, harus di-stop,” cetusnya.
Nisma menambahkan, kemiskinan dan sempitnya lapangan pekerjaan di kampung asal menjadi alasan mendasar tingginya angka buruh migran yang memilih bekerja di luar negeri.
“Perbudakan ini harus di-stop. Karena itu kemiskinan harus dihilangkan. Harus ada kesadaran dari kita semua untuk menghentikan ini, yaitu kesadaran untuk kemandirian,” imbuhnya.
Saat ini, terdapat lebih dari 6 juta warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri sebagai buruh migran. Sebanyak 70 persen adalah kaum perempuan yang bekerja di sektor informal. Para buruh migran ini tersebar di 48 negara penempatan dengan jumlah terbesar di Malaysia, Arab Saudi, dan Hongkong. [ren/ram]
Tidak ada komentar: